Konflik Dalam Pilkada

Buat Info - Konflik dalam Pilkada

Pilkada

Pada dasarnya pilkada merupakan mediasi untuk menentukan siapa yang pantas dan tidaknya menjadi kepala daerah. Dalam setiap pemilihan kepala daerah (Pilkada), akan terpilih satu kandidat dari beberapa calon kepala daerah yang nantinya diharapkan mampu untuk bisa membawa daerahnya tersebut mencapai progress. Selain itu, pilkada juga merupakan media pembelajaran demokrasi untuk masyarakat yang diharapkan dapat membentuk kesadaraan kolektif tentang pentingnya memilih pemimpin yang sesuai dengan hati nurani masyarakat.

Arena pertika**n

Dari masing-masing calon memiliki pendukung fanatik yang siap memangku dan mengawal untuk bisa menduduki kursi kepala daerah, bagaimana pun caranya. Baik dengan adu argumen lengkap dengan data, bahkan sampai dengan adu fisik. Jika calon yang mereka dukung dikatakan kalah dalam penghitungan suara, maka bentr*k pun tidak akan dapat terhindarkan. Dan tentunya tindakan tersebut dapat mencoreng citra pesta demokrasi yang syarat dengan kebebasan untuk memilih.

Banyak sekali potret kekerasan yang terjadi saat pilkada itu berlangsung, seperti bentr*k antar pendukung calon yang satu dengan lainnya, bahkan ada pula yang sampai bentr*k dengan pihak berwajib. Tidak akan ada asap jika tidak ada api, pepatah itu lah yang pantas untuk menggambarkan kekerasan dalam pilkada karena kekerasan yang terjadi dalam pilkada tidak terlepas dari banyaknya faktor yang menjadi pemicu kekera**n itu terjadi, misalnya saling ejek antar pendukung, munculnya fitnah atau berita hoax, dan tidak terima jika calon yang mereka dukung kalah dalam penghitungan suara karena disinyalir adanya kecurangan dalam penghitungan suara. Jika sudah demikian, pihak yang merasa dicurangi akan mengerahkan massanya untuk mendatangi KPUD setempat. Sehingga KPUD mengeluarkan ikrar siap menang dan siap kalah, sebelum dilaksanakannya pemilu.

Sebenarnya tindakan kekera**n semacam itu tidak harus menjadi coretan buram pada moment pesta rakyat ini, karena pilkada bukan lah ajang saling jot*s satu sama lain, melainkan untuk menentukan siapa yang pantas untuk menjadi kepala daerah dan menduduki kursi kepala daerah dalam proses pemilihan. Dan merupakan pelaksanaan mandat UUD 1945, Pasal 18 ayat 4. Timbulnya pro dan kontra dikalangan pendukung terhadap calon kepala daerah sangatlah wajar adanya, namun tidak harus berujung pada pertikaian karena itu hanya akan merugikan banyak pihak, termasuk pihak yang bertikai.

Di Indonesia sendiri sudah bukan menjadi sesuatu yang mengherankan lagi jika kekera**n menjadi pewarna pada proses pilkada. Tidak sedikit daerah-daerah di bangsa ini yang menghadirkan potret buram kekerasan dalam pilkada. Sebenarnya apa yang salah dengan mindset masyarakat pada saat ini, dimana pilkada sebagai ajang pemilihan kepala daerah malah berubah menjadi arena pertikaian antar sesama, hanya untuk mendukung calon yang menurut mereka pantas menjabat sebagai kepala daerah.

Sangat disayangkan sekali jika pilkada menjadi arena pertikaian antar sesama dan harus menyisakan kerugian baik itu materi maupun fisiologis, seakan- akan kekerasan yang terjadi dalam pilkada sudah menjadi budaya di kalangan masyarakat kita. Harus adu jot*s, lempar batu, saling dorong dan bahkan main api untuk kemenangan sang calon dan meniadakan kedamaian untuk kebaikan bersama. Seharunya Pilkada tidak dikotori dengan tindakan-tindakan yang sangat tidak bermoral tersebut. Jika tindakan-tindakan distorsi semacam kekera**n tersebut dijadikan budaya dalam setiap pemilihan kepala daerah, maka sudah dapat dipastikan daerah tersebut tidak
akan mencapai sebuah perubahan yang signifikan untuk kedepannya.

Solusi untuk pilkada

Dalam memulai segala sesuatu pasti akan kita temui kendala yang menghambat pelaksanaan berjalan dengan baik. Namun yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana meminilisir kendala tersebut. Untuk permasalahan yang timbul saat pelaksaan pilkada, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, melainkan juga diperlukan peranserta masyarakat, seperti:

1. Kesadaraan setiap warga untuk saling menghargai pendapat. Dengan kesadaran menghargai pendapat orang lain, maka tidak menutup kemungkinan akan memperlancar pelakasaan pilkada yang damai dan aman.
2.  Memilih dengan hati nurani. Dalam memilih calon, kita harus memilih dengan hati nurani sendiri tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Baik paksaan berupa kekerasan atau money politik.
3. Meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat. Pelaksanaan sosialisasi tentunya akan memberikan informasi yang tepat untuk masyarakat. Sehingga bisa diharapkan menutup munculnya fitnah atau berita hoax untuk masing-masih calon.

Demikianlah informasi mengenai konflik dalam pilkada yang setiap momentnya tidak dapat dihindarkan. Semoga dengan adanya informasi ini, dapat memberikan kesadaran bagi kita semua untuk menjalani dan menikmati pesta demokrasi ini dengan damai dan aman.

Tidak ada komentar untuk "Konflik Dalam Pilkada"